Kamis, 07 Agustus 2014

You Deserve More..



“Jadi mau lo apa sih?”, Glenn menatap Julia dengan tajam. Kata-katanya begitu keras menampar hati kecil wanita rapuh itu. Kekesalannya tergambar jelas di rahangnya yang mengeras. Suasana begitu panas, hingga air mata Julia meleleh pelan di sudut pipinya yang memerah. Bukan karena perona yang terlalu banyak ia sapukan di pipinya, namun karena bentakan Glenn yang begitu membahana membuat orang-orang di sekitar yang awalnya tak peduli jadi berpikiran macam-macam.

“Lo tuh bukan siapa-siapa gw. Lo gak berhak ngatur gw. Gw deket sama lo, bukan berarti lo bisa atur-atur gw seenak jidat. Lagian mau lo apa sih? Lo ngarep jadi pacar gw? Ih..jangan mimpi!”

Julia terperangah. Pipinya semakin memerah. Perempuan mana yang tak malu dibentak seperti itu di tempat umum. Namun ia tak bergeming. Tidak pula menangis lalu menampar penuh amarah seperti layaknya adegan drama di televisi. Dengan penuh ketegaran ditatapnya kedua bola mata Glenn dalam-dalam. Hal yang sangat mustahil dilakukan seorang Julia sebelumnya. Ia tak pernah tahan menatap Glenn berlama-lama. Ia takut Glenn dapat menebak apa yang dipikirkannya. Namun tidak kali ini. Tekadnya sudah bulat. “Biarlah Glenn tahu semuanya..”, gumamnya.

“Kalo kamu berpikir aku mau kamu jadi pacarku, kamu salah. Salah besar. Aku sama sekali gak menginginkan itu.”

“Maaf. Maafkan aku.”

“Aku memang mencintaimu. Tapi cintaku lebih dari itu.” 

“Aku pernah meminta, jika suatu saat aku jatuh cinta, jadikan itu untuk selamanya. Bukan untuk sesaat, sekedar status, atahu merayakan anniversary bersama. Bukan sekedar reminder dari pagi sampai malam, atahu sekedar menelepon berjam-jam tanpa manfaat.”

“Aku jahat jika aku hanya menyandangkanmu status ‘pacar’. Status yang klise menurutku. Sementara kamu berhak mendapatkan lebih.”

 “Aku tak ingin sekedar kau ingatkan untuk shalat. Jadilah kau imam, untukku dan keluarga kecil kita. Berada satu shaf di belakangmu adalah salah satu impianku. Mengingatkan kala aku lalai, tak lupa mengajakku untuk melengkapi dhuha dan tahajud. Lalu kelak kukecup punggung tanganmu seraya aku mengamini semua do’a-do’amu.”

“Aku tak ingin sekedar kau ingatkan untuk makan. Inginku menjadi wanita yang menyiapkanmu sarapan, bekal untuk makan siang, dan makan malam. Aku ingin jadi yang paling tahu makanan favoritmu, yang kamu tidak suka, dan yang menjadi pantanganmu untuk kuhindari. Bahagiaku adalah saat melihatmu melahap habis makanan yang aku buat. Meski sederhana, namun itu berkesan mendalam.”

“Aku ingin menjadi pendengar yang baik untuk segala permasalahanmu. Bersama kita temukan solusi terbaik. Do’aku takkan henti menemanimu. Hingga kelak kulihat senyum mengembang di bibirmu. Dengan penuh bahagia kau capai kesuksesanmu.”

“Aku mengikhlaskan sisa hidupku kuhabiskan untukmu. Setia menjadikanmu cinta ketiga dalam hidupku, setelah Allah dan orangtuaku. Tak kan lelah aku belajar untuk menjadi bidadarimu di dunia, dan di akhirat kelak. Karna kamulah kekuatanku. Dan bagiku cinta adalah pengabdian tanpa batas.”

“Jika itu semua tak cukup membuatmu bahagia, aku ikhlas. Aku ikhlas melepasmu, sebagai mana aku bahagia menyambutmu dalam kehidupanku. Aku ikhlas tak memilikimu jika bahagiamu ada pada yang lain. Kenyamanan denganmu selama ini adalah anugerah terindah yang pernah aku rasakan.”

Julia terdiam sesaat. Diamatinya lelaki yang amat dicintainya itu. Tetapi yang dipandanginya hanya diam membisu. Terlihat jelas bagaimana bola mata Glenn menari-nari ke segala penjuru, seakan mencoba mencari kata yang tepat, namun tak juga ketemu. Digenggamnya kedua tangan Glenn dengan penuh keberanian. “Tak apalah, biar selesai semuanya..”, begitu pikirnya.

 “Terima kasih, Glenn.. Terima kasih untuk semuanya.”

“Kamu kisah terindah yang pernah ada dalam hidupku.”

“Maaf jika cintaku ini telah mengganggu kebahagiaanmu.”

Julia tersenyum menghela nafas panjang. Rasa yang selama ini hanya dipendamnya, kisah yang selama ini hanya dibagi dengan Tuhannya, dalam hatinya begitu lega bisa mengungkapkan itu semua.  Hingga ia memutuskan untuk meninggalkan Glenn sendirian.

Dan Glenn, lelaki itu hanya terdiam terperangah. Tak pernah disadarinya Julia memendam itu semua. Wanita yang selama ini dikenalnya, wanita yang selalu ada, dan selalu ingin berada di sisinya. Wanita yang dikiranya begitu rapuh, ternyata kuat menyimpan cinta yang begitu besarnya. Cinta yang semestinya ia sadari dari dahulu. Cinta yang semestinya ia rasakan juga, jika saja ia tak membohongi hati kecilnya. “You deserve more, Julia..”, lirihnya dalam keheningan malam.