“Jadi mau lo apa sih?”, Glenn menatap Julia dengan tajam.
Kata-katanya begitu keras menampar hati kecil wanita rapuh itu. Kekesalannya
tergambar jelas di rahangnya yang mengeras. Suasana begitu panas, hingga air mata Julia meleleh pelan di sudut pipinya yang memerah. Bukan
karena perona yang terlalu banyak ia sapukan di pipinya, namun karena bentakan
Glenn yang begitu membahana membuat orang-orang di sekitar yang awalnya tak
peduli jadi berpikiran macam-macam.
“Lo tuh bukan siapa-siapa gw. Lo gak berhak ngatur gw. Gw
deket sama lo, bukan berarti lo bisa atur-atur gw seenak jidat. Lagian mau lo
apa sih? Lo ngarep jadi pacar gw? Ih..jangan mimpi!”
Julia terperangah. Pipinya semakin memerah. Perempuan mana
yang tak malu dibentak seperti itu di tempat umum. Namun ia tak bergeming.
Tidak pula menangis lalu menampar penuh amarah seperti layaknya adegan drama di
televisi. Dengan penuh ketegaran ditatapnya kedua bola mata Glenn dalam-dalam.
Hal yang sangat mustahil dilakukan seorang Julia sebelumnya. Ia tak pernah
tahan menatap Glenn berlama-lama. Ia takut Glenn dapat menebak apa yang
dipikirkannya. Namun tidak kali ini. Tekadnya sudah bulat. “Biarlah Glenn tahu semuanya..”, gumamnya.
“Kalo kamu berpikir aku mau kamu jadi pacarku, kamu salah.
Salah besar. Aku sama sekali gak menginginkan itu.”
“Maaf. Maafkan aku.”
“Aku memang mencintaimu. Tapi cintaku lebih dari itu.”
“Aku pernah meminta, jika suatu saat aku jatuh cinta, jadikan
itu untuk selamanya. Bukan untuk sesaat, sekedar status, atahu merayakan anniversary
bersama. Bukan sekedar reminder dari pagi sampai malam, atahu sekedar menelepon
berjam-jam tanpa manfaat.”
“Aku jahat jika aku hanya menyandangkanmu status ‘pacar’.
Status yang klise menurutku. Sementara kamu berhak mendapatkan lebih.”
“Aku tak ingin
sekedar kau ingatkan untuk shalat. Jadilah kau imam, untukku dan keluarga kecil
kita. Berada satu shaf di belakangmu adalah salah satu impianku. Mengingatkan
kala aku lalai, tak lupa mengajakku untuk melengkapi dhuha dan tahajud. Lalu
kelak kukecup punggung tanganmu seraya aku mengamini semua do’a-do’amu.”
“Aku tak ingin sekedar kau ingatkan untuk makan. Inginku
menjadi wanita yang menyiapkanmu sarapan, bekal untuk makan siang, dan makan
malam. Aku ingin jadi yang paling tahu makanan favoritmu, yang kamu tidak suka,
dan yang menjadi pantanganmu untuk kuhindari. Bahagiaku adalah saat melihatmu
melahap habis makanan yang aku buat. Meski sederhana, namun itu berkesan
mendalam.”
“Aku ingin menjadi pendengar yang baik untuk segala
permasalahanmu. Bersama kita temukan solusi terbaik. Do’aku takkan henti
menemanimu. Hingga kelak kulihat senyum mengembang di bibirmu. Dengan penuh
bahagia kau capai kesuksesanmu.”
“Aku mengikhlaskan sisa hidupku kuhabiskan untukmu. Setia
menjadikanmu cinta ketiga dalam hidupku, setelah Allah dan orangtuaku. Tak kan
lelah aku belajar untuk menjadi bidadarimu di dunia, dan di akhirat kelak.
Karna kamulah kekuatanku. Dan bagiku cinta adalah pengabdian tanpa batas.”
“Jika itu semua tak cukup membuatmu bahagia, aku ikhlas. Aku
ikhlas melepasmu, sebagai mana aku bahagia menyambutmu dalam kehidupanku. Aku
ikhlas tak memilikimu jika bahagiamu ada pada yang lain. Kenyamanan denganmu
selama ini adalah anugerah terindah yang pernah aku rasakan.”
Julia terdiam sesaat. Diamatinya lelaki yang amat
dicintainya itu. Tetapi yang dipandanginya hanya diam membisu. Terlihat jelas
bagaimana bola mata Glenn menari-nari ke segala penjuru, seakan mencoba mencari
kata yang tepat, namun tak juga ketemu. Digenggamnya kedua tangan Glenn dengan
penuh keberanian. “Tak apalah, biar
selesai semuanya..”, begitu pikirnya.
“Terima kasih,
Glenn.. Terima kasih untuk semuanya.”
“Kamu kisah terindah yang pernah ada dalam hidupku.”
“Maaf jika cintaku ini telah mengganggu kebahagiaanmu.”
Julia tersenyum menghela nafas panjang. Rasa yang selama ini
hanya dipendamnya, kisah yang selama ini hanya dibagi dengan Tuhannya, dalam
hatinya begitu lega bisa mengungkapkan itu semua. Hingga ia memutuskan untuk meninggalkan Glenn
sendirian.
Dan Glenn, lelaki itu hanya terdiam terperangah. Tak pernah
disadarinya Julia memendam itu semua. Wanita yang selama ini dikenalnya, wanita
yang selalu ada, dan selalu ingin berada di sisinya. Wanita yang dikiranya
begitu rapuh, ternyata kuat menyimpan cinta yang begitu besarnya. Cinta yang
semestinya ia sadari dari dahulu. Cinta yang semestinya ia rasakan juga, jika
saja ia tak membohongi hati kecilnya. “You
deserve more, Julia..”, lirihnya dalam keheningan malam.